Minggu, 22 April 2012

Drama dan Film



Bila musik dan tari mempunyai peran positif dalam seluruh pertunjukan teater tradisional,
drama Korea memiliki asalusul dari ritus-ritus keagamaan dari masa prasejarah.
Satu contoh menarik dari bentuk teater klasik ini adalah tari topeng Sandaenori, gabungan
tari, lagu, serta cerita yang diselingi oleh sindiran dan lawakan. Meski satu daerah dan lainnya
memiliki sedikit perbedaan dalam hal gaya, dialog dan kostum, bentuk teater ini memiliki
popularitas yang luar biasa di antara masyarakat pedesaan sampai awal abad ke-20.

Pansori dan ritual syamanistik yang dikenal sebagai gut adalah bentukbentuk lain pertunjukan
teater bersifat sakral, yang sangat menarik minat khalayak ramai. Seluruh bentuk pertunjukan ini
masih ditampilkan di Korea modern, meski tidak terlalu sering. Ada beberapa institusi yang
menawarkan berbagai macam seni pertunjukan pada satu tempat, salah satu contohnya
adalah Teater Jeong-dong di pusat kota Seoul. Teater ini menampilkan serangkaian seni
pertunjukan tradisional, drama, serta musik.

Penampilan pertama singeuk (drama baru), yang berangkat dari tari topeng dan bentukbentuk
drama tradisional,dipertunjukkan pada bulan Desember 1902. Namun demikian, drama
modern makin kuat berakar pada era 1910-an sesudah teater bergaya Barat pertama dibuka
di Seoul pada tahun 1908. Teater bernama Wongaksa berjalan sampai bulan November 1909.

B-boys dari Korea telah memperoleh pengakuan internasional dengan menjadi
juara dalam banyak pertandingan internasional.
Kelompok-kelompok teater Hyeoksindan dan Munsuseong juga dikelola oleh orangorang yang 
baru kembali sesudah menjalani studi di Jepang serta menampilkan drama sinpa (gelombang 
baru). Sinpa adalah suatu konsep untuk melawan drama gupa (gelombang lama), yang mengacu 
pada drama kabuki di Jepang. 

Drama-drama sinpa membahas tema-tema politik dan militer yang kemudian berkembang 
menjadi semakin beragam dengan menampilkan cerita-cerita detektif, opera sabun, dan tragedi.

Bila drama-drama sinpa hanya menjadi tren yang cepat berlalu, gelombang drama baru 
yang sesungguhnya dipromosikan oleh para seniman yang berkumpul di sekeliling Wongaksa 
dan memunculkan drama modern. Pada tahun 1922, Towolhoe, kumpulan tokoh-tokoh teater, 
dibentuk serta memimpin gerakan drama baru ini ke seantero negeri, dengan menampilkan 
sebanyak 87 pertunjukan. 

Pertunjukan drama tetap populer sampai era 1930-an namun kemudian mengalami penurunan 
seiring terjadinya kekacauan sosial-politik pada era 1940-an dan 1950-an. Pada dekade berikutnya, 
popularitas drama semakin melemah di tengah larisnya film layar lebar dan munculnya televisi.

Pada era 1970-an, sejumlah seniman mulai mempelajari dan mengadopsi gaya dan tema 
karya-karya teater tradisional seperti sandiwara tari topeng, ritual syamanisme, serta pansori. 

Yayasan Seni dan Budaya Korea telah mensponsori festival drama tahunan (Annual Drama
Festival) demi mendorong pertunjukan-pertunjukan teater. 

  ▶ Drama TV Korea

Winter Sonata (2002, KBS)
Winter Sonata (Sonata Musim Dingin) merupakan bagian kedua dari serial drama
Endless Love (Cinta Tanpa Akhir) produksi KBS TV. Disiarkannya drama ini
di stasiun televisi NHK Jepang membantu memicu gelombang Hallyu
(budaya pop Korea) yang telah melanda Jepang dan Asia.


Daejanggeum (2003, MBC)
Didasarkan secara bebas pada kisah kehidupan seorang tokoh sejarah 
yang muncul dalam Catatan Sejarah Dinasti Joseon, drama ini fokus pada 
Jang-geum, dokter kerajaan wanita pertama di Korea.

Saat ini, sejumlah besar group teater aktif sepanjang tahun, dengan menampilkan
pertunjukan dari semua aliran dari komedi sampai cerita epik bersejarah di teater-teater
kecil sepanjang Jalan Daehangno di pusat kota Seoul. Beberapa pertunjukan teater
mengalami kesuksesan besar sehingga periode pertunjukannya diperpanjang.

Film pertama Korea dipertontonkan ke khalayak umum pada tahun 1919. Berjudul
”Righteous Revenge” (Pembalasan yang Adil), film ini semacam drama-film yang dibuat
dikombinasikan dengan pertunjukan panggung. Film layar lebar pertama, ”Oath Under the
Moon” (Janji di Bawah Bulan), dipertunjukan pada tahun 1923. Pada tahun 1926, sutradara
sekaligus aktor karismatik Na Un-gyu memperoleh tanggapan antusiastik dari publik atas
karyanya ”Arirang,” sebuah protes sinematis melawan penindasan pemerintahan Jepang.

Setelah terjadinya Perang Korea pada tahun 1953, industri film lokal berkembang
perlahan-lahan dan mengalami kesuksesan bisnis selama kira-kira satu dekade.
Namun pada dua dekade berikutnya industri film mengalami stagnasi yang terutama
disebabkan oleh pertumbuhan televisi yang sangat cepat. Walau demikian,
sejak awal era 1980-an industri film telah memperoleh kembali vitalitasnya terutama
berkat peran beberapa sutradara berbakat yang berani membongkar
stereotip lama dalam proses pembuatan film.

Usaha-usaha mereka berhasil dan film-film mereka telah memperoleh pengakuan pada
festival-festival film internasional termasuk Cannes, Chicago, Berlin, Venice, London, Tokyo,
Moscow dan festival-festival di kota-kota lainnya.

Kecenderungan positif ini bergerak semakin cepat dengan adanya sutradara-sutradara baru
yang memproduksi film-film berdasarkan kisah-kisah unik Korea yang telah menyentuh hati
penonton di seluruh dunia.

Pada tahun 2000, ”Chunhyangjeon” (Kisah Chunhyang), yang disutradarai oleh Im Kwon-taek,
menjadi film pertama Korea yang turut bertanding dalam Festival Film Cannes.
Empat film lainnya diputar dalam kategori non-kompetitif. Film ”"Seom”" (Pulau), disutradarai
oleh Kim Ki-duk, ikut berlaga dalam Festival Film Internasional Venice.

Menyusul film-film ini, pada tahun 2001, ”Joint Security Area” (Wilayah Keamanan Bersama)
terpilih untuk bertanding dalam Festival Film Berlin, dan film yang lain karya Kim Ki-duk,
”Address Unknown” (Alamat Tidak Dikenal) masuk dalam seksi kompetisi pada
Festival Film Internasional Venice.

Old Boy (2003, disutradarai oleh Park Chan-wook) Old Boy merupakan kisah
aneh seorang lelaki yang dipenjara selama 15 tahun tanpa mengetahui alasan
mengapa ia dipenjara. Film ini memenangkan Grand Prix dari 
juri Festival Film Cannes pada tahun 2004.

Secret Sunshine (2007, disutradarai oleh Lee Chang-dong) Cerita film ini 
berpusat pada seorang wanita yang harus berjuang menyusul kematian
suami dan anaknya. Jeon Do-yeon memenangkan Penghargaan Aktris Terbaik 
pada Festival Film Cannes tahun 2007.

Sutradara Park Chan-wook memperoleh penghargaan Jury Grand Prix pada Festival Film
Cannes tahun 2004 untuk filmnya “"Old Boy”".  Ia juga meraih Penghargaan Sutradara Terbaik
pada Festival Film Internasional Bangkok untuk film “Old Boy” tahun 2005 serta untuk film
“"Sympathy for Lady Vengeance “(Simpati atas Pembalasan Dendam Seorang Wanita)
pada tahun 2006.

Minat publik terhadap film semakin besar dan beberapa festival film internasional telah
diselenggarakan baik oleh pemerintah propinsi maupun organisasi swasta di Korea. 
Festivalfestival ini mencakup Festival Film Internasional Pusan, Festival Film Fantastik 
Internasional Bucheon, Festival Film Internasional Jeonju, dan Festival Film Wanita di Seoul.

Seperti halnya di negara-negara lain, masyarakat perfilman Korea menyaksikan semakin 
meluasnya industri animasi dan kartun. Lebih dari 200 perusahaan kini memproduksi 
karya-karya dalam aliran baru yang sedang berkembang ini.

Industri-industri film, video, animasi, dan online sedang mengalami ledakan besar di Korea, 
yang dipacu oleh tersedianya layanan-layanan internet kecepatan tinggi. Pada tahun 2007, 
menyusul pengurangan tajam dalam sistem kuota film dibanding tahun sebelumnya, 
392 film layar lebar diputar di Korea, yang merupakan kenaikan 60 persen sepanjang tahun 2003. 
Hampir 30 persen, atau 112 film dari jumlah film ini, merupakan hasil produksi Korea.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar